RASA SENASIB ITU, Nadine Gordimer

balaibahasabandung.web.id


Judul Asli, “The Soft Voice of The Serpent”
Diambil dari Nadine Gordimer, Selected Stories, Penguin Books, 1978

Ia baru berusia dua puluh enam tahun dengan badan sangat sehat, dan tak lama lagi ia akan cukup kuat untuk didorong di atas kursi rodanya ke dalam taman. Seperti kebanyakan orang lain, ia memiliki keyakinan besar dan penuh rasa ingin tahu terhadap taman. “Well, tak lama lagi Anda sudah boleh bangun dan bisa duduk di taman,” kata mereka menatapnya sungguh-sungguh, dengan kepala agak dimiringkan penuh pengertian. Ya, tak lama lagi…….dalam taman. Taman itu begitu luas, tertutup pepohonan cemara tua yang gelap, dengan daun-daunnya yang indah dan berbau khas. Dan ia bisa duduk di bawah tepian dedaunannya yang bertingkat-tingkat itu, di balik bayang-bayang pepohonan, jauh dari segala keramaian. Ada semacam perasaaan bahwa di sana, di dalam taman itu, ia akan mendapatkan sesuatu, semacam pemahaman yang akan lebih mudah untuk dapat dipahami disana. Mungkin semacam gagasan tentang taman Firdaus, di mana manusia yang lemah belajar menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, di antara kehadiran pohon, rumput dan tanah yang sunyi namun menenangkan hati, sebelum mereka terlempar ke dunia luar yang hingar bingar.
Kali pertama ia didorong kesana, rasanya sungguh aneh. Istrinya mendorong melalui jalan setapak berbatu-batu kecil, silih berganti melewati terang dan bayangan. Dan ia merasa persis seperti waktu masih kanak-kanak ia senang berdiri sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, membiarkan kepalanya terayun dan mengamati dunia sekitarnya secara terbalik melalui kedua pergelangan kakinya. Segalanya terasa begitu luas dan terbuka, langit terbentang dan angin bertiup melalui dedaunan yang bergeletar, bunga-bunga yang terangguk-angguk pada tangkainya. Ah, semua gerakan itu…
Sebuah tiupan angin yang lembut sekali lagi menyelusup melalui celananya, bergulung di balik pakaiannya, ia bisa merasakan tiupan angin itu menggeleser begitu lembut di atas perutnya, sedemikian halus seakan-akan ia sekadar merasakannya di dalam hati, namun mampu menimbulkan gejolak di dalam diri.
Istrinya terus mendorong dengan susah payah berusaha mengendalikan roda-roda kursi itu dengan kedua tangannya yang kecil, dengan hasil tetap kurang baik – tapi ia tidak akan mengeluh, ia tidak akan pernah misalnya mengatakan perawat mungkin bisa melakukannya lebih baik, karena ia tahu hal itu bisa menyakiti hati istrinya – dan ketika akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang ia sukai, istrinya akanmenekan pedal rem dan kemudian duduk di sana menemaninya sepanjang hari. Sejak pertama ia menemukan tempat itu, seterusnya ia selalu duduk di situ setiap hari. Ia banyak membaca, meskipun seringkali secara tiba-tiba dan mendesak, perhatiannya teralih ke cekungan di balik selimut di mana kaki kirinya seharusnya berada. Kakinya hanya ada satu, sementara di sebelahnya selimut itu menelangkup tidak menutupi apa-apa. Sambil memandangi, kadang-kadang ia merasa seperti kaki yang satu lagi juga tidak ada di sana, ia merasa kakinya itu menghilang, pelan-pelan sekali mulai dari ujung ibu jari terus naik sampai ke paha, dan ia tidak punya kaki sama sekali! Selama beberapa menit perasaan itu berlangsung, kemudian ia akan berusaha kembali memperhatikan bukunya. Tidak! Ia tidak pernah membiarkan perasaan itu benar-benar menguasainya. Memang awalnya ia membiarkan perasaan itu datang, tapi ia pernah membiarkannya sampai menguasai keseluruhan dirinya. Ia bisa merasakannya datang, dekat, semakin dekat, gelap, menyergap, hingga tangisnya nyaris meledak – tapi tepat pada saat yang kritis, ia akan mengalihkan perhatiannya kembali ke buku bacaannya. Ia pun mulai menciptakan sebuah sistem dalam dirinya. Ia biarkan perasaan itu dekat, sedemikian dekat, seperti hendak menenggelamkannya di tengah taman itu, berkali-kali. Tapi berkali-kali pula ia menghentikannya pada saat yang tepat. Lama-kelamaan hal itu menjadi semacam kebiasaan yang sangat ia kuasai. Kebiasaan untuk tidak pernah membiarkan dirinya sampai pada kesadaran, bahwa ia tidak pernah mau menyadarinya. Sampai suatu hari ia mendapati bahwa ia telah mampu mencapai apa yang selama ini diinginkannya: ia merasa seakan-akan dari dulu ia memang selalu begitu.
Dan rasa takut itu pun menghilang, selama-lamanya.

Pada minggu-minggu pertama, ia tidak melewatkan waktunya dengan terus-terusan membaca; kadang-kadang ia meletakkan bukunya dan memandang ke sekeliling, mengamati daun-daun cemara yang bergoyang seperti rambut lurus seorang anak yang tertiup angin, mengamati burung-burung kecil yang hinggap di kabel telepon, mengamati seekor merpati tua gemuk yang berderap di belakang para betinanya yang berwarna abu-abu dan tampak lebih ningrat, dengan suara dengkuran penuh nafsu. Istrinya duduk menjahit di sampingnya, kadang-kadang mereka berbicara, tapi lebih sering mereka hanya duduk saja berjam-jam, sepanjang pagi. Gerakan tangan istrinya menjahit begitu halus dan nyaris tak kentara seperti gerakan burung-burung itu. Ia merebahkan kepala dan samar-samar memandangi langit melalui matanya yang setengah terpejam. Kadang-kadang mata istrinya, seperti terbiasa melihat melalui mata batin, menangkap sebuah gerakan kecil, sekelebat warna di tengah taman. Dan tawa atau pekikan istrinya yang berusaha menarik perhatian, secara tiba-tiba memecahkan segenap keheningan itu. Setiap pukul sebelas siang, istrinya berdiri meletakkan jahitan dan berjalan ke rumah untuk mengambil teh, perlahan-lahan melangkah di atas batu-batuan sepanjang jalan setapak di bawah sinar matahari, gerakannya begitu ringan, seakan-akan digerakkan oleh sinar matahari dan bukan oleh otot-ototnya sendiri. Ia memperhatikan istrinya bergerak menjauh, begitu mudah … ia merasa ada kesembuhan, di dalam pandangan matanya yang diam, di dalam mulutnya terasa santai, di atas permukaan telapak tangannya yang tengadah, ada semacam penguatan…
Suatu hari seekor belalang besar terbang berkelebat di dekat kepala istrinya, membuat istrinya terlonjak berteriak sambil melemparkan jahitan. Ia hanya tertawa melihat istrinya masih dengan rasa jijik, membungkuk dan memunguti kembali jahitannya yang berserakan. Istrinya lalu berjalan ke dalam rumah untuk mengambil teh, dan ia kembali membaca. Tapi sejenak kemudian ia meletakkan bukunya dan, sambil menguap, tampak olehnya gulungan benang merah jambu milik istrinya yang rupanya tertinggal, tergeletak di hamparan tanaman mawar.
Ia tersenyum ingat tingkah istrinya. Dan tiba-tiba ia sadar ada sebentuk wajah kecil seperti raut orang tua yang penuh rasa ingin tahu, sedang terpaku ke arahnya dengan pandangan seperti terhipnotis ketakutan. Di situ, benar-benar kaku oleh rasa takut di bawah pandangannya, seekor belalang besar diam meringkuk. Betapa lucu wajahnya! Sebentuk wajah panjang dan murung, yang entah bagaimana mengingatkan pada sebentuk kepala bota, dengan mulut muram. Seperti sejenis makhluk kecil dari dunia kartun Disney. Makhluk itu bergerak sedikit sambil tetap tengadah ketakutan ke arahnya. Badannya aneh, tertutup semacam baju perang model kuno terbuat dari besi yang keriat-keriut. Ia tidak pernah menyadari selama ini betapa aneh tampang seekor belalang sebenarnya! Tentu saja tidak, belalang hanya muncul sesekali secara bersamaan sebagai hama tananam – orang tidak dengan sengaja mencari belalang hanya untuk mengamati wajahnya.

Wajah benar-benar penuh rasa ingin tahu itu seperti wajah manusia, bahkan tampak berekspresi. Tapi setelah mengamati badannya, ia memutuskan bahwa bentuk semacam itu sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai badan. Kecuali wajahnya, persamaan makhluk itu dengan manusia tidak ada lagi. Badannya seperti kertas tipis yang terentang pada sebentuk rangka dari batang korek api, mirip kapal terbang mainan anak-anak. Dan bagian lainnya yang tidak bisa dikatakan sebagai kaki, yang belakang besar bergerigi seperti bagian mesin katrol yang sudah tua, dan yang depan seperti … seperti jepit rambut istrinya, tapi dalam keadaan tertekuk. Pada saat itu, makhluk itu pelan-pelan mengangkat salah satu kaki depannya, dengan gemetar melewati kepalanya, dan menggesek antena kirinya turun. Persis seperti seorang tua yang sedang mengusapkan sapu tangan ke alisnya.
Ia mulai benar-benar tertarik memperhatikan makhluk itu hingga ia membungkukkan badannya di atas kursi agar dapat melihat dengan lebih jelas. Makhluk itu rupanya juga merasakan kehadirannya, dan di balik sisi-sisi tubuhnya yang kaku dan keras, secara mengejutkan ia menangkap gerakan debar jantungnya. Betapa cepat nafasnya … ia menjauh sedikit, agar makhluk itu tidak terlalu takut.
Mengamati dengan teliti dan menjaga agar tidak membuatnya takut dengan berusaha tidak bergerak sama sekali, ia jadi memperhatikan adanya semacam perjuangan yang sedang terjadi pada makhluk itu. Sepertinya ia sedang mengumpulkan konsentrasi pada seluruh otot-otot tubuhnya: kekuatan yang terkoordinasi itu kemudian tersebar ke seluruh tubuhnya dalam gerakan bergetar kehabisan tenaga, kemudian berakhir bersamaan dengan sebuah loncatan ke atas dari kaki belakangnya yang besar. Tetapi belalang itu ternyata tetap berada di tempatnya semula. Beberapa kali usaha semacam itu terjadi dan sia-sia. Tapi pada kali berikutnya, tiba-tiba gerakan tadi berakhir dengan sedikit loncatan, pijakan yang tidak stabil, dan bagian perutnya – lagi-lagi seperti sebuah pesawat terbang – menggeleser di atas tanah.
Kemudian makhluk itu menggelimpang pada bagian sisinya, antenanya tegak menjulang ke arahnya. Kakinya meraba-raba, mencari pijakan di tanah yang lunak, menekukkan sikunya dan menegang. Dengan sebuah dorongan, belalang itu akhirnya berdiri tegak kembali, dan pada saat itulah ia melihat – kembali dengan membungkukkan badannya apa yang menjadi persoalan. Sebuah masalah yang sama, seperti masalah yang dimilikinya. Makhluk itu kehilangan sebuah kakinya. Hanya sepotong tungkai panjang sebelah atas dari kaki belakangnya yang tersisa, dengan bentuk irisan melingkar yang rapi, yang tak salah lagi menunjukkan bekas dimana potongan sisanya seharusnya berada.
Saat ia perhatikan belalang itu mengumpulkan tenaganya lagi dan lagi, dengan konsentrasi penuh pada seluruh ototnya, dan lagi-lagi usaha itu tersia-sia dengan rasa ketakpahaman yang membingungkan mengapa tidak terjadi sesuai dengan kemauan, ia tahu persis bagaimana perasaan makhluk itu. Tentu saja ia sangat kenal dengan perasaan itu! Rasa kepastian bahwa kaki itu seharusnya ada di situ, hanya tinggal mengangkatnya … Potongan kaki belakang itu bergetar, terangkat, tapi mengapa tak kunjung bisa melangkah? Sekali lagi belalang itu mencoba. Perintah telah disampaikan, menyebar ke seluruh anggota badan, kaki itu kembali ternagkat, siap – sekarang …! Potongan kaki itu menangkap angin, berpijak pada udara kosong.
Ia tertawa keras-keras sambil menggelengkan kepalanya. Ia tahu … Ya Tuhan! Begitu persis – ia berteriak ke arah rumah, “Ke marilah cepat! Lihat! Kau mendapatkan seorang pasien lagi!”
“Apa?” istrinya menyahut, “Aku sedang mengambil teh.”
“Kesinilah dan lihat!” ia berteriak lagi, “Sekarang!”
“…Ada apa?” istrinya bertanya ketika mendekati belalang itu dengan takut-takut.
“Belalangmu tadi!” ia menjawab. Istrinya terlonjak dengan jerit tertahan.
“Jangan takut … dia tidak bisa bergerak. Dia sama tak berdayanya seperti aku. Kakinya putus, mestinya waktu kau pukul tadi!” ia berkata sambil tertawa.
“Ah, tidak!” istrinya menukas cepat, tidak terima dikatakan telah memukul, apalagi dikatakan telah menyakiti seekor makhluk hidup. “Aku bahkan tidak menyentuhnya tadi. Pukulanku hanya mengenai angin … Tak mungkin aku melukainya. Apalagi sampai membuat kakinya putus.”
“Ya sudahlah. Mungkin ini belalang lain. Tapi yang ini kehilangan kakinya. Kau lihat saja … Dia bahkan tidak tahu bahwa kakinya tidak ada. Ya Tuhan, aku bisa merasakan apa yang dia rasakan … Aku memperhatikannya dari tadi, dan terus terang, ini sungguh luar biasa. Aku bisa melihat ia pun merasakan persis seperti yang aku rasakan!”
Istrinya tersenyum memandang kepadanya dari samping, seperti tiba-tiba kelihatan senang karena sesuatu. Kemudian, berusaha menepiskan pikirannya sendiri, istrinya melangkah maju, membungkuk dalam-dalam dengan kedua tangan di atas pinggul.
“Well, kalau dia tidak bisa bergerak….,” katanya, tidak meneruskan kalimatnya.
“Jangan takut,” ia menjawab masih sambil tertawa, “Coba pegang.”
“Ah, makhluk yang malang,” jawab istrinya, menarik napas dengan sepenuh hati, “Dia tidak bisa jalan.”
“Jangan paksa dia mengasihani dirinya sendiri,” katanya menggoda.
Istrinya mengangkat kepala dan tertawa, “Ah, kau …, “ katanya mengelak, sambil mengerutkan dahi. Belalang itu tetap dengan wajah serius berpaling ke arah istrinya. “Kasihan, bukankah tampangnya seperti seorang tua yang lucu,” kata istrinya lagi. “Lalu bagaimana nasibnya ya?”
“Aku juga tak tahu,” jawabnya, berada dalam posisi memiliki masalah yang sama membuatnya tidak harus merasa ikut kasihan. “Mungkin ia akan menumbuhkan kaki yang baru. Kadal juga akan menumbuhkan ekor yang baru kalau putus.
“Ya, kadal,” jawab istrinya. “… Tapi yang seperti ini tidak. Aku takut kalau dia ditangkap kucing.”
“Kau bisa membuatkan dia sebuah kursi roda dan nanti kau bisa mendorongnya ke luar bersamaku.”
“Oh, ya,” istrinya tertawa. “Untuknya mungkin harus berupa semacam gerobak kecil, dengan roda.”
“Atau mungkin kau bisa mengajarinya menggunakan penopang kaki. Aku yakin para petani pasti heran melihatnya bisa tetap aktif.”
“Binatang yang malang,” kata istrinya, membungkuk mendekati belalang itu lagi. Dan entah terdorong oleh rasa ingin tahu dari masa kanak-kanaknya dulu, ia mencabut sebatang rumput dan menyentuhkannya pada belalang itu dengan sangat hati-hati. “Sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa sekali, bahkan kaki yang sama, sebelah kiri.” Istrinya berpaling lagi kepadanya sambil tersenyum.
“Aku tahu,” jawabnya mengangguk, tertawa. “Kami berdua…,” ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum dan sekali berkata, “Kami berdua.”
Istrinya juga tertawa dan pada saat itu rupanya menusukkan rumput yang dipegangnya tadi agak terlalu keras daripada yang dimaksudkan. Seketika itu juga ada semacam getaran keras membingungkan, dan belalang itu pun terbang menghilang.
Istrinya berdiri terpaku dengan masih menggenggam batang rumput tadi, kembali takut kepada maakhluk itu lagi, berteriak terkesima seperti anak kecil, “Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?”
Sejenak ada kesunyian di antara mereka berdua.
“Jangan bodoh,” ia menjawab getir.
Mereka berdua lupa, belalang bisa terbang. ***

Leave a comment