THE CELESTINE PROPHECY, James Redfield

james-redfield1SASTRA MODERN AMERIKA TERKINI
(Telaah Kritis atas novel The Celestine Prophecy)

Tersebutlah kisah seorang pria – yang sejak awal
novel The Celestine Prophecy (TCP, Gramedia Pustaka
Utama Jakarta, 1997) digambarkan sebagai tokoh “aku” –
berburu menemukan kepingan-kepingan manuskrip
Celestine. Manuskrip ini sebelumnya telah diketemukan
terlebih dahulu oleh mantan pacarnya bernama Charlene,
seorang peneliti Amerika yang melakukan riset di Peru.
Tertarik akan cerita mantan pacarnya tersebut, yang
katanya manuskrip itu berisi sembilan wawasan dan
dapat menuntun manusia ke arah kehidupan spiritual
yang lebih tinggi. Akhirnya, si pria tadi memutuskan
berangkat ke Peru; karena, konon, wawasan rahasia
dalam manuskrip itu dapat menciptakan transformasi
besar disaat manusia telah mencapai tingkatan
tersebut.
Kisah petualangan berburu manuskrip Celestine ini
diceritakan James Redfield dengan cukup kontemplatif.
Dengan ber-setting-kan Peru – sangat khas Amerika
Latin – TCP ini lebih dari sekadar novel biasa.
Didukung gaya penceritaannya yang sederhana dan enak
dibaca, tidaklah mengherankan apabila TCP diterbitkan
pertama kali (1993) di Amerika Serikat terjual 3 juta
copy.

Teks spiritual
Berbicara tentang sastra modern yang tumbuh subur di
Amerika Serikat seperti sekarang. Kehadiran novel
James Redfield ini cukup memberi nuansa tersendiri. Di
tengah persaingan yang sangat ketat baik dari segi
karakteristik cerita, pengarang, maupun segmen
pembacanya. TCP hadir menawarkan ruang publik dengan
teks spiritualnya sebagai ujung pembelah persaingan
tersebut.
Budhi Munawar Rachman dalam tulisannya “The Celestine
Prophecy” dan Kebangkitan Agama-Agama (Kompas, 29
Agustus 1997) sampai pada kesimpulan bahwa, TCP
menggambarkan adanya sembilan wawasan yang intinya
mengajak pembaca untuk mulai menyadari bahwa dewasa
ini sedang terjadi pergeseran besar dalam cara pandang
mengenai hubungan manusia dengan sesamanya, manusia
dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Rangkaian cerita yang dibingkai melalui alur, plot,
setting, maupun temanya menjadi begitu bermanfaat
karena makna tersembunyi yang ditransliterasikan di
balik teks yang an-sich memberi pemahaman tidak mudah.
Disinilah, kekuatan tekstual yang ditawarkan TCP
telah menandai dimulainya kegairahan ekspresif dalam
sastra modern Amerika masa kini. Mengingat sastra
modern Amerika yang lahir beberapa dasawarsa ke
belakang; cenderung mengetengahkan konflik antar
pelaku, spesialisasi tema, dengan sedikit banyak
memaksimalkan unsur hiburan sebagai proses
kreativitas. Taruhlah novel-novel pop semacam karangan
John Grisham: The Client, Pelican Brief, The Firm
misalnya.
Teks Spiritual, sebagaimana James Redfield meramu TCP
ke dalam konstruksi tersebut, memberikan isyarat bahwa
kehidupan manusia yang mengarah dimaterialkan dengan
simbol-simbol duniawi di dalamnya ternyata secara
spiritual mengandung perjalanan kosmis. Hal-hal yang
terjadi tanpa diduga sebelumnya dapat menyertai
pengalaman hidup di dunia ini. Dalam novel TCP,
“Kebetulan” adalah pertemuan si Aku yang selama enam
tahun berpisah dengan Charlene, bertemu kembali secara
tidak diduga, diharap, apalagi direkayasa. Hanya saja
yang perlu digaris-bawahi disini, manusia terkadang
tidak menyadari apabila kebetulan-kebetulan itu
menyimpan rahasia misterius yang tidak semata-mata
sebagai Kekuatan Tersembunyi, akan tetapi pendekatan
ke arah agama itulah yang paling penting.
Dalam pandangan mistisisme, novel TCP sebenarnya
mereduksi optimalisasi alam bawah sadar manusia yang
secara substantif berujud energi hidup. Kecenderungan
manusia bersikap menguasai orang lain, disitulah
aliran energi sedang berlangsung. Semakin manusia
mengembara akan kekurangan hasrat berkuasa, maka
pertentangan yang memberikan rasa tidak aman satu sama
lain semakin sukar dihindarkan. Penyebabnya adalah
pencarian energi hidup keluar memperoleh
pembentukannya dengan kesaling-hubungan antara satu
dengan yang lain tersebut.
Salah satu contoh praktek pengaliran energi itu
adalah sikap marah yang dilakukan seseorang terhadap
orang lain. Ketika orang yang dimarahi itu merasa
takut, atau lebih tepatnya penguasaan atau penindasan
sedang berlangsung, maka aliran energi yang diterima
si pemarah dari yang dimarahi cenderung menguat.
Kondisi semacam itu hanya bisa diminimalkan,
setidaknya masih menurut novel TCP, manakala manusia
menemukan kegairahan baru terhadap cara pandang dengan
sesama, alam, maupun Tuhannya. Karena disanalah sumber
energi hidup dapat ditemukan.

Dari Sastra ke Agama
Memahami agama melalui pendekatan sastrawi adalah
tujuan utama kehadiran novel TCP. Terhadap apa yang
mencirikan semakin terbukanya peluang sastra sebagai
medium yang bisa dimasuki agama. Novel TCP merupakan
keberhasilan James Redfield tersendiri. Dengan karya
sastranya tersebut, kita setidaknya semakin disadarkan
akan keselamatan dunia, bahwa sekularisme yang tengah
diagung-agungkan justru menjauhkan peningkatan
kerukhanian.
Pada awalnya sastra memang dipihaki sebagai abstraksi
dunia, ketika agama kemudian memperoleh
fragmentasinya. Konflik batin di antara para tokoh TCP
di dalamnya adalah kegairahan eksperimentasi terhadap
apa yang melatar-belakangi pemahaman spiritual
masing-masing.
Novel TCP murni merupakan estetika imajinatif dengan
bingkai etika kerukhanian yang menitik-tolaki
literasinya. Kedwi-tunggalan antara sastra dan agama
memiliki nilai edukasi yang menempatkan James Redfield
sebagai pengarang yang tidak terjebak ke nuansa
tekstual yang monoton.
Tidak berlebihan kiranya novel TCP memiliki pengaruh
sangat besar apabila ia tidak ditempatkan sebatas
karya sastra biasa, karena kehadirannya telah
membawakan keberpihakan yang disemangati simbol-simbol
kehidupan immaterial.

Leave a comment