HATI YANG MENGUMPAT, Edgar Allan Poe

Judul asli, “The Tell-Tale Heart” karangan Edgar Allan Poe
Dari SELECTED TALES – EDGAR ALLAN POE
PENGUIN BOOKS, 1994 hal. 267-272

BENAR! – rasa takut – sangat, sangat luar biasa saya alami rasa takut; tapi mengapa anda hendak mengatakan saya gila? Penyakit ini telah menyelimuti kesadaranku – tidak membinasakan – tidak menghiraukan. Semuanya lebih merupakan kesadaran pendengaran yang akut. Saya mendengar segalanya yang di langit dan di bumi. Saya mendengar segala hal yang di neraka. Bagaimana, kemudian, saya menjadi gila? Dengarkan! Dan simak bagaimana menurut medis – bagaimana secara tenang saya dapat mengatakan semua cerita ini kepada anda.
Hal yang tidak mungkin mengatakan bagaimana ide ini pertama kali memasuki urat-syarafku: tapi sekali memperhatikan, hal itu sering mengunjungiku siang dan malam. Obyeknya tidak ada. Kemarahan tidak ada. Saya mengasihi lelaki tua. Dia tidak pernah menyalahiku. Dia tidak pernah menghinaku. Tentang emasnya saya tidak memiliki keinginan. Saya pikir emas itu adalah matanya! Ya, matanya itu! Salah satu matanya menyerupai burung nazar – sebuah mata biru yang pucat, dengan sorot gambar menyelimutinya. Dimanapun mata itu menyilaukanku, darahku mengalir dingin; dan lambat laun – sangat perlahan-lahan – saya menyadarkan pikiranku menjalani kehidupan lelaki tua, kemudian diriku menghindar dari mata itu selamanya.
Sekarang ini persoalannya. Anda mengira diriku gila. Lelaki gila tidak tahu apa-apa.tapi anda melihatku. Anda melihat bagaimana saya berjalan lurus – dengan kewaspadaan apa – dengan rapalan apa – dengan kebohongan apa saya pergi bekerja! Saya tidak pernah bersikap ramah terhadap lelaki tua itu selama berminggu-minggu sebelum saya membunuhnya. Dan setiap malam, kira-kira tengah malam, saya menutup pintunya dan membuka kembali – Oh, sangat perlahan-lahan! Dan kemudian, ketika saya membuka cukup untuk kepalaku, saya memegang lentera di ruang gelap, semuanya tertutup, tertutup, dengan begitu tidak ada sinar terang, dan kemudian saya mendorong kepalaku. Oh, anda akan tertawa melihat bagaimana dengan cerdiknya saya mendorong kepalaku masuk! Saya menggerakkannya perlahan-lahan – sangat, sangat pelan, dengan begitu saya tidak mungkin mengganggu lelaki tua itu yang sedang tidur. Membutuhkan satu jam bagiku untuk memasukkan seluruh kepalaku dengan pintu terbuka lebih longgar sehingga saya dapat melihat lelaki tua itu sedang renahan di atas tempat tidurnya. Hah! – akankah lelaki gila menjadi begitu berani seperti ini? Lalu, ketika kepalaku merasa nyaman di ruangan, saya meletakkan lentera dengan hati-hati – Oh, begitu hati-hati – sangat hati-hati (engsel pintu bergeretak) – Saya meletakkannya sedemikian rupa, sehingga sinar cahaya lemah mengenai matanya yang menyerupai burung nazar itu. Dan ini saya lakukan selama tujuh malam – tiap malam tepatnya pada tengah malam – tetapi saya mendapati matanya selalu tertutup; dengan begitu tidak mungkin melakukan kerja; tidaklah lelaki tua yang menggangguku, tapi Mata Setannya. Dan setiap pagi, ketika hari tiba, saya masuk ke kamar dengan lancang, dan bicara dengannya penuh berani, memanggil namanya dalam hati, dan memeriksa bagaimana dia melewati malam. Dengan begitu anda lihat dia adalah lelaki tua yang sangat matang, sesungguhnya, mencurigai bahwa tiap malam, tepatnya pukul dua belas, saya memandangnya hingga dia tertidur.
Di atas pukul delapan malam saya merasa lebih hati-hati dari biasanya membuka pintu. Detak menit jam tangan bergerak lebih cepat. Tidak pernah sebelumnya malam itu saya sedikit merasakan kekuatan diriku – keberanianku. Saya hampir tidak dapat menahan perasaan kemenanganku. Dengan jujur saya menertawai ide itu; dan mungkin dia mendengarkanku; sehingga dia tiba-tiba bangun dari tidurnya, seolah-olah terkejut. Sekarang anda mungkin berpikir bahwa saya mengurungkan kembali – tapi tidak. Ruangannya begitu gelap-gulita (sementara tutup-jendela tertutup, karena takut pencuri), dengan begitu saya tahu bahwa dia tidak dapat melihat pintu terbuka, dan saya menjaga dorongannya dengan tenang.
Saya coba kepalaku masuk, dan sedikit membuka lentera, ketika ibu jariku menyentuh kaleng, dan lelaki tua itu melompat dari tempat tidur, berteriak – “Siapa disana?”
Saya sungguh-sungguh diam dan tak berkata apa-apa. Selama satu jam saya tidak bergerak sedikitpun, dan sementara itu saya tidak mendengarnya berbaring. Dia sungguh-sungguh berdiri dari tempat tidur mendengarkan: – sebagaimana saya lakukan, malam demi malam, mendengar jam mati di tembok.
Sekarang saya mendengar rintihan ringan, dan saya mengetahui itu adalah rintihan dari teror kematian. Bukannya rintihan duka-cita atau rasa sakit – Oh, tidak! – adalah rintihan lembut yang muncul dari lubuk hati paling dalam ketika dibebani penuh dahsyat. Saya tahu suara itu dengan baik. Bermalam-malam, tepatnnya tengah malam, ketika seisi dunia tertidur, terpancar dari jiwaku di dada, sangat dalam, kecemasan yang menjadikanku gila. Saya berkata mengetahuinya dengan baik. Saya tahu apa yang lelaki tua itu rasakan, dan mengasihaninya, walaupun saya tersenyum dalam hati. Saya tahu bahwa dia masih terjaga dari tidurnya semenjak kegaduhan ringan yang pertama, ketika dia kembali ke tempat tidur. Rasa takut masih menyelimutinya. Dia telah menyangka sebab-sebabnya, tetapi tidak bisa. Dia berbicara dengan dirinya sendiri – “Tidak ada apa-apa kecuali angin di cerobong – Hanyalah seekor tikus berlarian di lantai,” atau “Hanyalah seekor jengkerik bersuara.” Ya, dia mencoba menyenangkan dirinya dengan perkiraan seperti itu; tapi dia mendapati semuanya sia-sia. Semunya sia-sia; karena Kematian, dalam keterdekatannya, telah merayap dengan bayangan hitamnya, dan membungkus korban. Dan itulah pengaruh rasa sedih dari bayangan tak terlihat yang menyebabkan merasa – sekalipun dia tidak melihat, dan tidak juga mendengar – kehadiran kepalaku di ruangan.
Ketika saya menunggu beberapa lama, sangat sabar, tanpa mendengarkannya tertidur, saya berteguh hati membuka sedikit – sebuah celah kecil di lentera. Saya membukanya – anda tak dapat membayangkan bagaimana dengan diam-diam, mengendap-endap – hingga, pada akhirnya, cahaya yang redup, menyerupai jaring laba-laba, membidik celah dari luar.
Celah itu terbuka – lebar, terbuka lebar – dan saya bertambah marah ketika saya memandang ke arahnya. Saya melihatnya dengan ketenangan sempurna – serba bodoh, dengan kerudung menutupi menyejukkan setiap tulang di sekujur tubuhku; tapi saya tak dapat melihat wajah lelaki tua atau orang lain; untuk itu saya langsung menyinari seolah-olah dengan insting, lebih tepatnya tanpa mempedulikan bintik-binitk cahaya.
Dan kini, saya tak harus mengatakannya pada anda apakah anda melakukan kesalahan atas kegilaan ini dari perasaan-perasaan lebih akut? – kini, Saya mengatakan telah datang di telingaku kebodohan, secara cepat, sebagaimana jam berdetak terbungkus kapas. Saya mengetahui suara itu dengan baik. Itu adalah dentuman hati lelaki tua. Dentuman itu menambah kemarahanku, ketika dentuman genderang tentara memberi semangat berani.
Tapi pada saat bersamaan saya sungguh-sungguh manahan diri dan berpegangan. Saya menarik nafas dalam-dalam. Saya memegang lentera perlahan-lahan. Saya mencoba bagaimana saya dapat mempertahankan cahaya dengan tenang di atas mata. Sementara itu tanda-tanda hati yang sengsara bertambah. Hati yang sengsara itu bertambah semakin cepat dan semakin cepat, dan lebih keras dan sebentar-sebentar lebih keras. Ancaman lelaki tua itu menjadi luar biasa! Ancaman itu bertambah keras, saya berkata, sebentar-sebentar lebih keras! Anda menandai diriku sehat? Saya mengatakan pada anda bahwa saya merasa takut, begitulah saya. Dan kini di penghujung malam kematian, di tengah keheningan menakutkan dari rumah tua itu, sebegitu kuatnya suara itu mengancamku yang tak terkendali. Meskipun demikian, beberapa menit lebih saya bertahan dan masih berdiri. Tapi dentuman itu bertambah lebih keras, lebih keras! Saya berpikir hati ini meledak. Dan kini kecemasan baru menghantuiku – suara itu didengar tetangga! Saatnya lelaki tua itu datang! Dengan teriakan keras, saya meletakkan lentera terbuka dan meloncat ke kamar. Dia memekik sekali – hanya sekali. Sejenak saya menyeretnya ke lantai, dan menarik tempat tidur yang berat di atasnya. Saya kemudian tersenyum geli, melakukan perbuatan sejauh itu. Tapi, beberapa menit, dada itu terpukul dengan suara mengendap. Itu, tetapi, tidak menggangguku; tidak akan bisa didengar menembus tembok. Pada akhirnya, suara itu berhenti. Lelaki tua itu tewas. Saya memindahkan tempat tidur dan memeriksa tubuh tergeletak. Ya, dia kaku, tewas kaku. Saya meletakkan kepalaku di atas dada dan mendekamnya beberapa lama. Tidak ada denyut jantung. Dia tewas kaku. Matanya tak lagi menakutkanku.
Seandainya anda masih memikirkanku gila, anda tidak akan sebegitu lama berpikir ketika saya menguraikan tindakan pencegahan yang bijaksana saya mengangkat menyembunyikan mayat itu. Malam berakhir, dan saya bekerja terburu-buru, tapi dalam keheningan. Saya memisahkan tubuhnya satu per satu. Saya memenggal kepala, bahu, dan kaki.
Kemudian saya mengambil tiga papan dari lantai kamar, dan menyimpan semua di antara balok-balok kecil. Saya meletakkan kembali papan-papan itu hati-hati, begitu cerdik, bahwa tak seorangpun – tidak juga dirinya – dapat mendeteksi sesuatu yang janggal. Tak ada apa-apa untuk dibersihkan – tak ada noda dari bagian tubuh – tak ada percikan darah. Saya telah berhati-hati dengan hal tersebut. Sebuah tong telah memuat semuanya – ha! ha!
Ketika saya menyelesaikan pekerjaan ini, jam menunjukkan pukul empat – benar-benar gelap di tengah malam. Ketika jarum jam berbunyi empat kali, terdapat ketukan di pintu luar. Saya keluar membukanya dengan hati bersinar, – untuk apa saya mesti takut sekarang ini? Ada tiga orang laki-laki masuk, sambil memperkenalkan diri masing-masing, dengan sikap ramah sempurna, bekerja sebagai agen polisi. Sebuah teriakan didengar seorang tetangga sepanjang malam; rasa curiga atas permainan jiwa telah diguncangkan; informasi terdengar di kantor polisi, dan mereka (agen polisi) berkuasa meneliti bukti-bukti pembicaraan.
Saya tersenyum – untuk apa saya mesti takut? Saya mengucapkan selamat datang kepada laki-laki sopan itu. Teriakan itu, saya katakan, adalah jiwaku dalam mimpi. Lelaki tua itu, saya terangkan, tidak ada di kota ini. Saya mengundang semua tamuku ke rumah. Saya mengucapkan selamat datang padanya menyelidiki – menyelidiki dengan baik. Saya berbincang-bincang dengannya, pada akhirnya, di kamar lelaki tua. Saya menunjukkan pada polisi barang-barang berharganya, rasa aman, tak terganggu. Dalam antusiasme kepercayaan diriku, saya membawa kursi-kursi ke ruangan, dan menyilakan mereka istirahat disini dari kelelahannya, sambil saya berdiri, dalam keberanian liar atas kemenangan diriku yang sempurna, meletakkan kursiku di bawah debu-debu yang tersimpan mayat korban.
Para polisi merasa puas. Caraku telah meyakinkan mereka. Saya sendiri dengan hati riang. Mereka duduk, dan sambil saya menjawab suka cita, berceloteh sesuatu yang ramah. Tapi, kelak, saya merasa diriku pucat dan mengharap mereka pergi. Kepalaku pusing, dan saya menyangka ada suara di telingaku; tapi mereka masih duduk-duduk dan berbincang. Suara itu menjadi lebih aneh: – terus menerus dan menjadi lebih aneh: Saya berkata lebih bebas membebaskan perasaan ini; tapi suara itu terus menerus dan mencapai ketidak-pastian – Hingga, pada akhirnya, saya memastikan suara itu bukan dari telingaku.
Tanpa ragu saya bertambah pucat sekarang: – tapi saya berkata lebih lancar, dan dengan suara meninggi. Kemudian suara itu bertambah – dan apa yang dapat saya lakukan? Itu adalah lenguhan, kebodohan, suara yang cepat – sebagaimana menyerupai suara jam yang terbungkus kapas. Saya sedikit sesak bernafas – dan kemudian polisi-polisi itu tidak mendengarkannya. Saya berkata lebih cepat – lebih bersemangat; tapi suara itu bertambah tenang. Saya bangkit dan berdebat tentang olok-olok, dengan perkataan yang keras, tapi suara itu bertambah tenang. Mengapa mereka tidak pulang? Saya berjalan di lantai kesana-kemari dengan langkah berat, seolah-olah menimbulkan kemarahan dengan pengawasan para polisi – tapi suara itu bertambah tenang. Oh Tuhan! Apa yang dapay saya lakukan? Mulutku membuih – mengigau – menyumpah! Saya melangkah ke kursi dimana saya tadi duduk, dan menggeser-geserkan ke papan, tapi suara itu muncul semua dan bertambah terus menerus. Suara itu bertambah lebih keras – lebih keras, lebih keras! Dan para polisi itu berbincang dengan senangnya, dan tersenyum.apakah mungkin mereka tidak mendengar? Tuhan Yang Maha Kuasa! – tidak, tidak! Mereka mendengar! – Mereka curiga! – Mereka tahu! – Mereka mengolok-olok ketakutanku! – Ini saya pikirkan, dan ini saya pikirkan. Tapi segalanya lebih baik daripada sakaratu’l maut! Segalanya lebih baik daripada olok-olokan! Saya tidak dapat lama memikul senyum kemunafikan ini! Saya merasa bahwa saya harus berteriak atau mati! – dan kini lagi! – terdengar! Lebih keras! Lebih keras! Lebih keras! Lebih keras!
“Sialan!” saya berteriak, “tak lagi menyembunyikan! Saya mengaku perbuatan itu! – bukalah papan-papan! – disini, disini! – pukulan hatinya tersembunyi!”

Leave a comment